Sabtu, 13 Desember 2008

COLUMBINE HIGH SCHOOL MASSACRE (Part 3)



F. Bagaimana Tragedi Tersebut Terjadi

Berdasarkan hasil investigasi FBI, dalam jurnal kedua remaja tersebut mereka merencanakan titik awal aksinya pukul 5 pagi waktu setempat. Tadinya mereka merencanakan aksinya pada sehari sebelumnya, yaitu 19 April 1999 karena bertepatan dengan peristiwa pengeboman di Oklahoma, namun mendadak mereka mengubahnya menjadi 20 April 1999 karena bertepatan dengan peringatan 110 tahun Adolf Hitler, sang tokoh Nazisme. Akan tetapi sampai saat ini dugaan tersebut masih diragukan keakuratannya karena hanya mereka berdualah yang tahu alasan yang sebenarnya.

Eric dan Dylan bolos dari kelas pertama mereka pada hari itu, yaitu kelas bowling, yang biasanya berlangsung pukul 06.00-07.15 waktu setempat. Oleh gurunya, Kristine Macauley, mereka dinilai siswa yang rajin menghadiri kelasnya. Hanya saja pada hari itu mereka tidak hadir. Lagi, pada jurnalnya masing-masing mereka menuliskan akan memulai aksinya di kafetaria sekolah pukul 11.00 karena pada jam tersebut sejumlah besar siswa akan berkumpul di sana. Pada kenyataannya (berdasarkan laporan para saksi mata), mereka terlihat tiba di sekolah pada pukul 11.10. Mereka membawa kendaraan masing-masing dan parkir di tempat berbeda. Eric mengendarai Honda Civic abu-abu keluaran tahun 1986 dan memarkirnya di parkir timur bertepatan dengan pintu keluar kafetaria, sedangkan Dylan mengendarai BMW hitam keluaran tahun 1982 dan memarkirnya di parkir barat bertepatan dengan pintu masuk sekolah. Kedua tempat parkir tersebut dinilai strategis karena mereka dapat memantau situasi dengan jelas. Sebelum memasuki kafetaria, mereka sempat bertemu dengan Brooks Brown dan tiba-tiba saja Eric yang sebelumnya membencinya menjadi baik kepadanya dan menyuruhnya untuk pulang dan menyelamatkan diri karena mereka akan segera memulai aksinya. Pukul 11.14 keduanya memakai kostum kebanggaan mereka berupa jas hitam panjang (trenchcoat) yang telah disisipkan senjata di dalamnya, kacamata hitam, sepatu boot hitam dan masing-masing membawa duffel bag (tas jinjing besar) yang berisi bom propana seberat 20 pound (atau sekitar 9 kg). Pukul 11.17 (menurut Eric pada waktu inilah kafetaria sedang penuh-penuhnya) mereka memasuki kafetaria untuk menaruh bom tersebut dan kebetulan pada saat itu CCTV kafetaria sedang dimatikan oleh petugas sekolah dan baru dinyalakan kembali pada pukul 11.22. Setelah menaruh bom di lantai bersebelahan dengan 2 meja di kafetaria, mereka kembali ke mobil masing-masing dan menunggu bom tersebut meledak. Pada jurnalnya masing-masing mereka berencana meledakkan sekolah dan menembaki korban selamat yang tersisa. Pada saat itu terdapat sekitar 488 orang di dalam kafetaria yang menjadi calon korban bom mereka. Untungnya bom tersebut gagal meledak, jika tidak ke-488 orang tersebut akan terbunuh dan perpustakaan yang tepat berada di atasnya akan runtuh yang akan mengakibatkan kerusakan struktural yang sangat parah.

Menyadari bom mereka gagal meledak sesuai harapan (‘hanya’ meledak seperti petasan), Eric dan Dylan kembali memasuki kafetaria membawa pistol semi-otomatis 9 mm jenis TEC-DC9 dan senjata api semi-otomatis 9 mm dalam masing-masing jasnya dan satu duffel bag yang berisi puluhan bom pipa dan persediaan amunisi. Untungnya lagi, beberapa menit sebelum mereka memasuki kafetaria, yaitu pukul 11.24, William Sanders, guru olahraga sekaligus pelatih tim basket putri, menyadari bahaya yang mengancam lalu bersama petugas keamanan sekolah berhasil mengevakuasi para siswa yang berada di kafetaria. Sebelum memasuki kafetaria, Eric dan Dylan sempat menembaki beberapa siswa di luar dan menewaskan 2 orang. Ketika memasuki kafetaria, mereka menemukan tempat tersebut telah kosong dan menembaki bom propana yang gagal meledak. Setelah itu mereka berjalan menyusuri koridor sekolah, menembaki para siswa yang berlarian meyelamatkan diri. Dan di situ pulalah, Sanders tertembak 2 kali di leher dan akhirnya tewas akibat kehilangan banyak darah karena baru dievakuasi tim SWAT 3 jam kemudian, walaupun sempat berhasil menyelamatkan diri dan mendapat pertolongan seadanya di ruang sains oleh para siswa yang bersembunyi di sana.



Rekaman CCTV: para siswa yang berlarian panik



Eric-Dylan memasuki kafetaria setelah bom mereka gagal meledak


Pukul 11.29 kedua remaja tersebut memasuki perpustakaan, menyerukan semua orang yang bersembunyi untuk keluar lalu mulai menembaki setiap orang yang mereka jumpai di setiap sudut perpustakaan sambil sesekali mengumpat. Pada saat itu terdapat 52 siswa, 2 orang guru dan 2 orang penjaga perpustakaan yang sedang bersembunyi. Sayangnya di perpustakaan tidak terpasang CCTV sehingga FBI memerlukan keterangan terperinci dari para saksi mata yang berada di tempat kejadian yang berhasil selamat dan butuh berbulan-bulan untuk merekonstruksi kejadian yang mendekati akurat. Patricia Nielson, salah satu guru yang terkena pecahan kaca pada saat bom meledak di kafetaria, sedang bersembunyi di bawah meja resepsionis dan melakukan panggilan darurat dengan operator 911 hingga penembakan usai. Sebelum kedua tersangka memasuki perpustakaan, ia telah memperingati para siswa untuk berlindung di bawah meja karena telah menyadari bahaya yang mengancam mereka. Di perpustakaan pula kedua tersangka terlibat baku tembak dengan kepolisian setempat yang berada di luar gedung dan merusak beberapa kaca jendela perpustakaan. Di tempat tersebut mereka melukai lebih dari 20 siswa dan menewaskan 10 siswa. Akhirnya kedua remaja tersebut bunuh diri di tempat tersebut, di balik rak-rak buku, dengan senjata yang mereka gunakan pukul 12.08 (waktu ini berdasarkan keterangan para saksi mata yang selamat). Eric tewas dengan menembakkan peluru ke mulutnya, sementara Dylan tewas dengan menembakkan peluru ke pelipis kirinya (sempat timbul pertanyaan mengapa pelipis kiri bukan kanan, hal tersebut kemudian terjawab setelah FBI menyelidiki catatan medis Dylan bahwa ternyata ia kidal). Saat ditemukan tewas, Eric telah melepas trenchcoatnya (berdasarkan keterangan para saksi mata diduga ia melepaskannya saat terlibat baku tembak dengan kepolisian di perpustakaan) dan memakai t-shirt bertuliskan ‘Natural Born Killer’ alias NBK, yang merupakan film favoritnya.

Baku tembak antara sherrif dan Eric-Dylan dari jendela perpustakaan




foto kedua pelaku yang telah tewas akibat bunuh diri


Dari tragedi tersebut gedung sekolah yang baru saja melakukan renovasi besar-besaran senilai US$ 1,5 miliar rusak berat. Total tembakan adalah 188 tembakan baik di dalam maupun luar gedung, terdapat 50-60 bom tersebar di dalam maupun luar gedung dan hanya sepertiganya yang berhasil meledak walaupun tidak berdaya ledak besar, korban tewas sebanyak 13 (12 siswa dan 1 guru) dan terluka sebanyak 24 siswa. Sebagian besar korban terluka mengalami kelumpuhan karena tertembak di bagian kaki, walaupun ada juga terluka ringan. Ironisnya, walaupun dalam jurnalnya mereka menuliskan daftar nama yang akan dihabisi sebanyak 67 orang, pada akhirnya yang berhasil terbunuh dari daftar tersebut hanya 1 orang dan 2 orang yang terluka, sementara korban tewas dan terluka lainnya berdasarkan penembakan secara acak.

salah satu foto kerusakan akibat tragedi tersebut


foto2 para korban tewas (tidak termasuk Eric-Dylan)

G. Tinjauan Tragedi Tersebut Dari Segi Psikologis dan Kebudayaan

Setelah penyelidikan selama 3 bulan, FBI yang melibatkan tim ahli dengan Dr. Frank Ochberg dari Michigan State University sebagai ahli kejiwaan dan Agen spesialis investigasi, Dwayne Fuselier, sebagai ketua tim, menyimpulkan bahwa Eric Harris merupakan seorang psikopat dan Dylan Klebold mengalami depresi berat. Hal ini terlihat jelas dari isi jurnal dan website pribadi mereka, juga video-video yang mereka buat.

Awalnya banyak orang awam yang salah memahami tragedi tersebut. Langkah pertama untuk memahami tragedi tersebut adalah menangkap hakikat bahwa kejadian tersebut adalah penembakan yang terjadi di sekolah (simply a school shooting). Fuselier dan Ochberg mengatakan dalam seminar mereka bahwa kita tidak dapat memahami mengapa mereka melakukannya hingga kita memahami apa yang sebenarnya mereka lakukan (we can’t understand why they did it until we understand what they were doing). Pelaku penembakan sekolah (school shooters) cenderung bertindak impulsif dan menyerang target yang berada dalam jangkauan mereka, yaitu para siswa dan staff sekolah, terutama para guru. Akan tetapi Harris dan Klebold telah merencanakan aksi tersebut selama setahun dan menginginkan serangan yang jauh lebih besar (rencana asli yang terdapat dalam jurnal mereka adalah setelah menghancurkan sekolah, mereka akan menghancurkan kota, bahkan ibu kota negara lalu membajak pesawat, kemudian menabrakkannya di New York hingga kabur ke Mexico), walaupun akhirnya rencana mereka ‘sedikit’ meleset dan berakhir di perpustakaan sekolah.

Fuselier dan Ochberg mengatakan bahwa bila kita ingin memahami mereka, berhenti menanyakan apa yang membuat mereka dapat berbuat seperti itu. Harris dan Klebold merupakan individu yang cukup berbeda dari orang kebanyakan; mereka memiliki motif berbeda dan kondisi mental yang berlawanan. Klebold dengan mudah dapat ditebak. Ia memiliki sifat kasar (walaupun sebelumnya dikenal pemalu), mudah marah, namun depresi berat dan berpotensi menyakiti dirinya sendiri. Ia menyalahkan dirinya atas berbagai masalah yang ia hadapi. Sejak terkena kasus pembobolan mobil van bersama Harris, ia merasakan sebuah titik dimana tidak ada jalan kembali (point of no return) dan sudah terlanjur merasa dirinya mendapatkan cap sebagai ‘kriminal’. Dan semenjak berteman dengan Harris, banyak yang mengatakan bahwa ia mulai berubah dan menjadi pengikut Harris. Juga dalam salah satu tulisannya dalam Creative Writing class yang dengan gamblang menggambarkan kronologi sebuah pembantaian yang kemudian menjadi kenyataan pada 20 April 1999, sampai-sampai guru pembimbingnya ragu untuk memberinya nilai hingga ia berhasil menjelaskan bahwa itu ‘hanya’ sebuah cerita.

Sedangkan untuk memahami Harris adalah sebuah tantangan. Wajahnya yang menggambarkan ‘anak baik-baik’ dan tutur katanya yang sopan membuatnya dikenal sebagai teman yang baik. Tapi sebenarnya ia berkepribadian dingin, penuh perhitungan dan mematikan. Bila Klebold cenderung menyakiti dirinya sendiri, Harris lebih berkeinginan untuk menyakiti orang lain. Ia bukan lagi tergolong ‘anak nakal’, namun sudah dikategorikan sebagai seorang psikopat. Menurut seorang pakar psikiatri, Dr. Robert Hare, psikopat merupakan kondisi mental spesifik dimana si penderita tidak mengalami delusi, halusinasi atau bahkan menjauhi kenyataan. Tidak seperti penderita gangguan jiwa lainnya, seorang psikopat menyadari sepenuhnya apa yang mereka lakukan dan mengapa mereka melakukannya.

Tanda-tanda yang menunjukkan Harris sebagai seorang psikopat adalah kata-kata dalam website pribadi dan jurnalnya, seperti :
“ YOU KNOW WHAT I HATE!!!? STUPID PEOPLE!!! Why must so many people be so stupid!!!? “
“ YOU KNOW WHAT I HATE!!!? …MANKIND!!!!...kill everything…kill everything…”
“ I hate you people for leaving me out of so many fun things. “

Kata-kata di atas dengan jelas menunjukkan ekspresi kemarahan dan kebenciannya terhadap orang-orang di sekelilingnya. Namun, menurut Fuselier sebenarnya terdapat emosi yang jauh lebih membara yang disamarkan dengan kebencian. Ia menderita superiority complex, dimana terdapat suatu perasaan ingin menghukum sekelompok manusia yang ia benci. Tanda-tanda berikutnya adalah bahwa Harris pintar memanipulasi dengan banyak berbohong. Dalam sebuah halaman di jurnalnya ia menuliskan, “ I lie a lot. Almost constantly, and to everybody, just to keep my own ass out of the water. Let’s see, what are some of the big lies I told? Yeah I stopped smoking. For doing it, not for getting caught. No I haven’t been making more bombs. No I wouldn’t do that. And countless other ones. “ Pada penderita psikopat, mereka sangat menikmati kebohongan mereka sekaligus untuk melindungi dirinya dari bahaya. Hal tersebut dikenal dengan istilah ‘Duping delight’ yang menjadi karakteristik utama dari seorang psikopat. Satu fakta lagi adalah bahwa ketika tertangkap basah membobol mobil van tetangga mereka, dalam program pemulihan Harris menuliskan surat kepada tetangganya tersebut untuk lebih dari sekedar permohonan maaf, melainkan menunjukkan empatinya, dan pada saat yang sama ia menulis umpatan terhadap tetangganya tersebut dalam jurnalnya. Hal tersebut memberikan petunjuk mengapa Harris mampu menembak teman-teman sekolahnya, membiarkan mereka menderita kesakitan, lalu menghabisi nyawa mereka. Hal tersebut dapat terjadi karena seorang psikopat tidak mampu merasakan sesuatu dengan tepat, misalnya cinta atau kebencian atau rasa takut, karena ia tidak pernah mengalaminya secara langsung. Oleh karena itu seorang psikopat mungkin saja membunuh lalu melukai dan bahkan memutilasi korbannya dengan merasa seperti halnya sedang memotong-motong daging ayam untuk dimasak.

Berangkat dari jiwa psikopat itulah FBI dapat menyimpulkan bahwa Harris sebgai mastermind atau ‘otak’ dari aksi pembantaian tersebut. Persahabatannya dengan Klebold merupakan suatu simbiosis mutualisme dimana keduanya saling melengkapi. Harris yang cenderung bersifat dingin dan penuh perhitungan mampu menenangkan Klebold ketika emosinya sedang terbakar. Pada saat yang sama, Klebold memberikan stimulan kemarahan yang Harris butuhkan. Para ahli memprediksikan jika Klebold tidak terpengaruh oleh Harris dan melakukan pembantaian tersebut, maka kemungkinan ia dapat mudah ‘diselamatkan’ dan menjalani hidupnya dengan normal. Sedangkan Harris berada dalam posisi yang lebih sulit. Ia sudah tak dapat diselamatkan lagi karena menderita psikopat. Di dalam tubuhnya telah tertanam jiwa pembunuh yang bersifat menghancurkan. Kematiannya telah menghentikan aksi selanjutnya yang lebih mengerikan seandainya ia masih hidup.

Diciptakannya berbagai media elektronik serta maraknya pemanfaatannya membuatnya penting di kalangan masyarakat di berbagai penjuru dunia. Di Amerika Serikat, secara bertahap media elektronik, khususnya komputer dan televisi telah berubah menjadi sarana yang ampuh untuk memarakkan budaya kekerasan dan kebebasan seksual, sehingga mengundang protes dari para pengamat sosial dan cendekiawan. Dewasa ini media elektronik, terutama televisi di Amerika, dikuasai oleh para kapitalis yang arogan dan hanya mementingkan keuntungan pribadi semata. Mereka menjadi kaya dan sukses melalui bisnis ini, namun mereka tidak memanfaatkannya untuk tujuan mencerahkan dan memberi penyadaran terhadap masyarakat. Di AS, sepertiga dari masyarakatnya rata-rata menonton televisi selama 4 jam lebih. Menurut para pengamat komunikasi, penonton dengan masa tontonan rata-rata 4 jam sehari sudah termasuk ke dalam pemirsa ekstrim dan profesional. Dengan alasan inilah, sewaktu media elektronik ini menayangkan adegan-adegan kekerasan dan kejahatan dalam acara-acaranya, amsyarakat terhanyut oleh pengaruhnya yang dahsyat. Fenomena ini dalam bidang komunikasi disebut ‘teori kultivasi’. Harris dan Kleboldpun nampaknya menjadi korban dari pemanfaatan media elektronik yang tidak sesuai porsinya. Hal tersebut dapat disimpulkan dari kebiasaan mereka bermain game online berjam-jam dan dalam game tersebut banyak mengandung unsur kekerasan. Secara tidak sadar mereka telah terpengaruh budaya kekerasan dari game tersebut.

Salah satu televisi di AS menunjukkan kenyataan ini dalam sebuah laporan angka-angka statistik. Laporan tersebut menunjukkan bahwa penggunaan kalimat-kalimat kotor dan menjijikkan selama tahun 1989 hingga 1999 telah meningkat 5,5 kali lipat. Selain itu, adegan-adegan kekerasan dan pornografi juga diperagakan secara lebih gamblang dan terang-terangan. Dalam sebuah pengamatan dan penelitian atas 3 saluran televsi besar AS yaitu CBS, NBC dan ABC, telah tercatat bahwa ketiga televisi besar itu setiap minggunya menayangkan 113 adegan pelecehan seksual, 92 adegan penyerangan menggunakan senjata api, 9 adegan pembunuhan, 78 adegan perkelahian, serta 179 adegan pelanggaran hukum. Tidak diragukan lagi, penayangan adegan-adegan kekerasan dalam media elektronik akan memberi pengaruh negatif pada anak-anak dan remaja. Mereka umumnya menjadikan media tersebut sebagai cermin dan teladan mereka. Berdasarkan penelitian sebuah lembaga psikologi di AS, anak-anak di negeri ini sebelum menamatkan pendidikan SD rata-rata telah menyaksikan 8 ribu kali adegan pembunuhan dan 100 ribu kali adegan kekerasan dalam media elektronik, terutama televisi. Angka-angka tersebut akan meningkat dua kali lipat ketika mereka menginjak usia 18 tahun. Riset membuktikan ketika dewasa, anak-anak tersebut cenderung tidak segan-segan melakukan kekerasan dan tidak memiliki rasa belas kasihan. Harris dan Klebold telah positif menjadi sebagian kecil dari korban budaya kekerasan di media elektronik. Ditambah lagi dengan faktor psikologis mereka yang memang terdapat kelainan sehingga mereka mampu melakukan pembantaian mengerikan tersebut.


H. Kesimpulan

Eric Harris dan Dylan Klebold merupakan remaja yang mengalami gangguan psikologis diperparah dengan budaya kekerasan di sekitar mereka dan kondisi lingkungan yang memberikan celah bagi mereka untuk merencanakan pembantaian tersebut. Kurangnya komunikasi dengan orang tua, orang tua dengan para guru dan pembimbing lainnya mengakibatkan mereka dengan leluasa mengembangkan kemarahan dan kebenciannya menjadi suatu peristiwa yang berakibat fatal.



I. Saran

1. Orang tua memegang peranan penting dalam mengawasi perkembangan anaknya, khususnya saat anak tersebut sedang dalam masa transisi. Pentingnya komunikasi yang intens bersamaan dengan pendidikan agama akan menjadikan proteksi secara tidak langsung bagi perkembangan jiwa anak.
2. Walaupun masih menjadi bahan perdebatan, namun tidak ada salahnya pemerintah mengawasi ketat peredaran senjata di masyarakat sipil agar tidak terjadi penyalahgunaan senjata, terutama di bawah umur.
3. Pihak kepolisian harus lebih tanggap terhadap kekerasan yang terjadi pada kaum remaja, karena kekerasan yang fatal justru berawal pada usia remaja, dimana pada saat itu mereka sedang mengalami masa transisi dengan kondisi kejiwaan yang labil yang harus diawasi secara seksama karena berpotensi menimbulkan kekerasan dengan daya rusak luar biasa.


Daftar Rujukan

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Suhermanto, S.H., M.H. dan Sapto Handoyo DP, S.H. 2006. Diktat Perkuliahan Pengantar Sosiologi. Bogor: Fakultas Hukum Universitas Pakuan.

Gillin, John Lewis dan John Philip Gillin. 1954. Cultural Sociology. New York: The Macmillan Company.

http://www.acolumbinesite.com/.

http://www.cnn.com/. Report: 12 Killed At Columbine In First 16 Minutes.

http://www.davecullen.com/. The Depressive and The Psychopath: At Last We Know Why The Columbine Killers Did It.

http://www.hukumonline.com/. Tragedi Littleton 20 April 1999.

http://www.perspektif.com/. Budaya Kekerasan di Layar Kaca.

http://www.solusihukum.com/. Belajar dari Tragedi Columbine, Tarik Sebelum Tertembak.

http://id.wikipedia.org/tragedi_columbine.

Tidak ada komentar: